Friday, February 8, 2013

Mengenali Bahagia

 Laode Atthar Alfikry


Jadi ceritanya pas semester 4 dulu, ane pernah dikasih tugas sama dosen Manajemen Keuangan untuk buat tulisan tentang kebahagiaan dan membuat orang lain bahagia. Walaupun sampe sekarang masih bingung ape nyambungnya sama mata kuliah... (=.=")
Ini versi murni copas dari naskah asli:



 Nama    :    Laode Atthar Alfikry
 Kelas    :    2 AB Akuntansi Pemerintahan
 NPM    :    103060017807



1.    PENDAHULUAN

    “Apakah hari ini anda merasa bahagia?”
    “Kenapa anda bahagia?”
    “Memangnya bahagia itu apa sih?”

Alam semesta ini  diciptakan dalam suatu tatanan keseimbangan yang harmonis. Setiap hal memiliki oposisinya, dan itulah fitrah dunia. Ada hitam, ada putih; ada baik, ada buruk; ada surga, ada neraka; ada cinta, ada benci. Pun dengan yang namanya kebahagiaan. Jika ada bahagia, maka di situ juga pasti ada yang namanya duka, sedih, lara, ataupun yang lainnya dengan substansi yang berlawanan dengan bahagia.
Kebahagiaan (kata benda) ataupun bahagia (kata sifat) sering kita asosiasikan dengan perasaan puas, lengkap, damai, dan segala perasaan baik lainnya. Tapi ternyata hal itu tidak berlaku bagi semua orang. Pada hakikatnya, kebahagiaan sendiri memiliki suatu batasan yang abstrak, yang memisahkannya dengan lawan oposisinya: “kesedihan”.
Tapi walaupun begitu, semua orang pastinya sepakat bahwa kebahagiaan ataupun bahagia, datang dari suatu hal yang menyebabkan kita merasa memiliki alasan untuk tersenyum ataupun tertawa, memiliki alasan untuk mensyukuri hidup dengan segala anugerah-Nya.

Kebahagiaan: Sebuah definisi

    Jika saya tanyakan kepada (misalnya) 10 orang tentang apa itu bahagia, mungkin mereka akan memiliki jawaban yang relatif sama, meskipun dengan konteks kata yang berbeda-beda. Tapi, jika saya coba tanyakan kepada 1.000, atau bahkan 100.000 orang, maka saya yakin jawaban yang didapatkan akan berbeda-beda. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan adanya jawaban-jawaban yang saling kontradiktif.
Seorang ilmuwan biologi-kimia misalnya, ia akan menjelaskan kebahagiaan sebagai, “suatu reaksi kimiawi dalam tubuh seseorang yang membuatnya menghasilkan hormon endorfin atau serotonin (bahkan mungkin hormon tostesteron juga!), bla... bla... bla....”
Berbeda lagi halnya definisi dari seorang pujangga: “bahagia merupakan saat ketika perak rembulan meyirami hatimu dengan kedamaian, di saat nyanyian para peri mengiringi langkahmu dan menghidupkan malam-malammu yang gemerlap... bla... bla... bla...”
Pernyataan dari seorang narapidana dengan hukuman penjara seumur hidup: “bahagia adalah ketika saya dapat menghirup udara kebebasan, ketika saya dapat merasakan hangatnya mentari, bukan dinginnya dinding-dinding penjara bla... bla... bla...
Dengar lagi penjelasan dari seorang anak balita: “bahagia adalah permen dan gula-gula manis yang dapat saya makan setiap hari, kasih sayang dan kepedulian ayah dan ibu pada kemanjaan saya bla... bla... bla...”

Jika dilihat dari pernyataan-pernyataan definisi di atas, jelas kita akan sepakat bahwa kebahagiaan itu diasosiasikan dengan segala hal yang baik, meskipun dengan faktor penyebab yang berbeda-beda. Tapi ternyata tidaklah selamanya begitu. Contohnya, mari kita dengar pernyataan dari seorang psikopat: “bahagia adalah melakukan serangkaian pembunuhan disertai mutilasi yang sebelumnya diawali dengan teror dan penyiksaan terhadap para korban bla... bla... bla....” Nah, sekarang kita tidak lagi bisa mengasosiasikan bahagia dengan segala hal yang baik (secara umum).
     Sesungguhnya, bahagia ataupun kebahagiaan merupakan suatu perasaan/kondisi abstrak yang tidak dapat ditarik suatu definisi tentangnya. Kenapa? Hal ini dikarenakan terbatasnya teknologi dan kemampuan manusia dalam hal bahasa linguistik. Sehingga sampai saat ini, bahasa-bahasa yang ada hanya mampu mendefinisikan hal-hal yang konkret, tapi tidak untuk yang abstrak seperti Tuhan, cinta, bahagia, dsb. Selain itu, hal ini juga bisa diartikan bahwa bahagia merupakan sesuatu yang di luar nalar dan logika manusia, karena pada dasarnya bahasa  merupakan hasil kerja nalar dan logika.
    Tapi hal ini bukan berarti sepenuhnya bahwa bahagia merupakan sesuatu yang tidak dapat tersentuh. Karena setidaknya kita dapat mengetahui penyebab-penyebab dari kebahagiaan, tanda-tanda bahagianya seseorang, dan apa yang dapat dilakukan untuk memperoleh kebahagiaan. Hanya jika semua hal itu cukup mudah untuk dinalar oleh pencapaian manusiawi.

Mengenali bahagia
Dari sudut pandang netral, dunia hanyalah kumpulan benda-benda, hasil peristiwa alam dalam aliran waktu. Pada akhirnya, manusialah yang memberi nama benda-benda, memberi definisi, memberi batas dan lingkup, dan mengolong-golongkannya. Manusia sepanjang sejarah peradabannya di muka bumi menciptakan suatu “konsep” untuk dapat memahami segala sesuatu.
Namun yang terjadi kemudian adalah seringkali manusia menganggap konsep atau definisi yang telah diciptakannya sebagai suatu standard yang objektif. Padahal sebenarnya baik-buruk, hitam-putih, benar-salah, bahagia-duka itu hanyalah sebuah penamaan yang diciptakan manusia. Seperti contoh di atas mengenai pemahaman seorang psikopat tentang makna kebahagiaan, maka dapat disimpulkan bahwa tidak dapat ditarik suatu definisi umum tentang apa dinamakan bahagia.
Manusia mengenali suatu konsep dengan suatu oposisi atau meme pembedanya (meminjam istilah Richard Brodie dalam bukunya “Virus Akalbudi”). Kita pun mengenali bahagia karena adanya derita, duka, sedih, dsb. Ketika suatu hal tidak memiliki hal lainnya yang dapat dijadikan pembanding, maka akan sulit  untuk dikenali. Ketika misalnya semua hal, baik makhluk, benda ataupun lainnya dapat terbang dan tidak bisa berjalan (jadi mau tidak mau, ya harus terbang), maka kita tidak akan mengenal istilah jalan kaki, stay on the ground, atau menjejakkan kaki di tanah. Dan pada akhirnya, kita tidak akan memberikan nama dan juga definisi tentang apa itu ‘terbang’. Sama halnya ketika tidak ada warna lain di dunia ini selain putih. Maka kita tidak akan pernah mengenal warna hitam, atau bahkan tidak ada istilah ‘warna’ sama sekali (karena hanya ada 1 warna saja). Sehingga kita tidak akan menamakan suatu warna sebagai ‘putih’. Karena untuk apa kita menamakan sesuatu jika bukan sebagai identitas. Sedangkan identitas itu sendiri mempunyai fungsi pembeda.

2.    MEMBAHAGIAKAN ORANG LAIN

Saya ingin merasakan bahagia. Anda ingin merasakan bahagia. Kita semua ingin bahagia. Bahagia yang baik adalah ketika bahagia itu tidak hanya dirasakan oleh seorang diri. Kebahagiaan adalah hak setiap makhluk hidup. Kebahagiaan yang hakiki adalah ketika bahagia yang kita rasakan tidak merugikan orang lain, dan justru ikut menambah kebahagiaan mereka. Di sinilah makna dari pengorbanan, dari suatu pemberian.

    Membahagiakan Orangtua (keluarga)
Mereka lah yang paling memiliki andil dan alasan utama untuk saya bahagiakan. Bagaimana tidak, karena mereka lah yang bersedia mengalami kerugian materil demi kebahagiaan saya pribadi, dan pada akhirnya mereka pun merasakan kebahagiaan pula dalam membahagiakan saya. Dengan ini jelas sudah bahwa orangtua saya lah yang pertama kali mengenalkan kepada saya tentang konsep pemberian tanpa pamrih.
    Ibu saya adalah orang pertama yang harus mendapatkan kebahagiaan. Dari beliaulah saya mengenal dunia pertama kali. Beliaulah yang menyelipkan doa-doanya dalam setiap munajat malam untuk anak-anaknya. Beliau pulalah yang harus menanggung kekhawatiran ketika anak-anaknya sakit.
Ayah saya adalah seorang yang keras kepala, dan sepertinya sifat itu pula yang diwariskan kepada saya. Seringkali saya berbeda pendapat dengan beliau dan harus diakhiri dengan bertengkar. Karena saling keras kepala satu sama lain, maka tidak ada pertengkaran kami yang benar-benar selesai.Tapi lebih dari itu, saya juga mewarisi sifat-sifat lain dari ayah saya yang membuat saya memiliki alasan lebih untuk merasa bahagia, dan pada akhirnya patut pula untuk membahagiakan beliau.
Pada masa-masa awal kehidupan saya, ayah saya seringkali mengajak saya berjalan-jalan, mendaki gunung, dsb. Hal inilah yang membuat saya memiliki perasaan cinta terhadap alam yang sama dengan ayah saya. Hal lainnya, dari ayah saya pula lah saya menyukai seni, khususnya puisi, dan kami bisa menghabiskan banyak waktu bersama untuk membahas itu, melebihi waktu-waktu ketika kami bertengkar. Saya juga memiliki kecenderungan yang sama seperti ayah saya dalam hal filsafat, tasawuf, dsb. Dan ini lebih dari cukup bagi saya untuk sepatutnya membalas segala kebaikan beliau.
Saya tahu apapun yang saya lakukan untuk membahagiakan mereka tidak akan cukup untuk menebus semua kasih sayang mereka kepada saya. Tapi bagaimanapun, mereka memiliki hak atas saya. Dan sebagai wujud rasa syukur saya, maka saya merasa patut membahagiakan mereka. Dan saya pun bahagia ketika mereka bahagia. Saya ingin membahagiakan mereka, membahagiakan masa tua mereka. Tidak sampai mereka menutup mata! Tapi sampai kapan pun, doa-doa saya akan mengalir untuk mereka. Robbi ighfirlii waliwali dayya warhambuma kama robbayaani shoghiiroo...

Membahagiakan Teman

Teman-teman saya memiliki andil besar dalam membentuk karakter saya. Teman-teman pula yang men-support saya selain orang tua. Banyak waktu-waktu bersama yang saya lewatkan bersama mereka. Dan tidak sedikit dari mereka yang menunjukkan loyalitas dan memberikan pengorbanan mereka kepada saya.
Merekalah orang-orang berikutnya yang patut untuk saya tularkan kebahagiaan. Kenangan bersama mereka seringkali saya ingat kembali dengan tersenyum dan merindukan masa-masa bersama mereka. Orang bilang tidak ada yang abadi, tapi bagi saya persahabatan itu abadi –dalam batasan kehendak Tuhan- !

Membahagiakan Orang Lain
Saya tidaklah melulu hidup di dalam rumah. Dan tidak ada seorang manusiapun yang merasa cukup dan bahagia dengan hanya hidup terkurung di dalam rumah. Bersosialisasi merupakan kebutuhan alamiah dari manusia. Itu pulalah yang juga dapat membuat orang bahagia. Lingkungan mengajarkan saya bahwa ketika kita membahagiakan orang lain, maka sesungguhnya kita juga sedang membahagiakan diri kita sendiri. Ada suatu perasaan puas ketika kita mampu membuat orang lain senang karena kita.
Saya bahagia ketika mampu memberi pinjaman kepada orang yang kesulitan. Saya bahagia ketika mampu membantu orang lain dengan kemampuan yang saya miliki. Sebaliknya, saya miris melihat anak-anak yang harus menyambung hidup di jalanan, saya sedih melihat orang-orang lanjut usia yang tidak dapat menikmati masa tua mereka. Bukankah mereka patut untuk merasa bahagia?

3. PENUTUP: Apakah saya bahagia?
Jika ditanya demikian, maka secara umum saya akan berkata, “Ya, saya sangat-amat-teramat bahagia!”
Pada dasarnya, dunia dan segala isinya telah diciptakan Tuhan dengan beribu-ribu, atau bahkan berjuta-juta alasan bagi manusia untuk bahagia. Bahkan Tuhan pun telah memberi kita berbagai fasilitas Ilahiyah langsung untuk bahagia, seperti berdoa, bersyukur, tawakal, dsb. Tuhan juga menyediakan sarana kebahagiaan abadi bagi manusia di akhirat kelak: Surga, Nirwana, Valhalla, atau apapun namanya. Lebih dari itu, keyakinan akan Tuhan sendiri merupakan faktor utama yang menyebabkan rasa bahagia di diri kita.
Sebenarnya bahagia itu hanya masalah penyikapan kita terhadap suatu hal saja. Sebagai contoh, umumnya manusia ketika mengalami kecelakaan motor maka ia akan bersedih. Tetapi tidak bagi orang-orang yang mampu memandang sesuatu dari perspektif bahagia. Ia akan mencari beribu-ribu alasan baginya untuk tetap bahagia. Ia akan berkata, “toh untungnya saya hanya kecelakaan dan luka-luka saja, tidak sampai meninggal tragis.” Atau, “untungnya saya diberikan kecelakaan oleh Tuhan sehingga saya dapat belajar bahwa kebut-kebutan itu berbahaya dan membahayakan orang lain.” Dan dengan perasaan seperti itu maka ia tidak bersedih atas kecelakaan yang menimpanya. Hal ini sejalan dengan penggunaan fasilitas Ilahiyah yang telah diberikan oleh Tuhan, yaitu tawakkal, atau berserah diri pada Tuhan. Dengan yakin bahwa apapun yang terjadi pada kita, yang telah diberikan oleh Tuhan adalah yang terbaik bagi kita.
Maka, berbahagialah!

No comments:

Post a Comment