Dimas SBDY
"Maka apabila kamu telah selesai dari satu urusan maka kerjakanlahdengan sungguh-sungguh urusan yang lain". (Q.S. Al Insyirah: 7).
Waktu terus berjalan dan kerja-kerja dakwah pun terus menyeruak di
hadapan seiring dengan bergantinya hari. Tidak layak kita terlalu
berlama-lama berhenti atas nama evaluasi atau mengambil jeda sejenak
untuk beristirahat. Amal dihadapan terlampau banyak untuk disebutkan,
saatnya kembali menyiapkan barisan untuk menyambutnya, karena pada
dasarnya setiap satuan waktu bagi seorang kader adalah potensi amal
yang akan meningkatkan derajatnya di hadapan Allah SWT.
Sebelum kita melanjutkan amal, mari sedikit kita merenungi beberapa
hal agar kerja-kerja ke depan kita semakin baik dan cermat karena
ditopang dengan pribadi-pribadi yang kuat secara pemahaman, kokoh
dalam keyakinan akan kebenaran manhaj dakwah dan ikhwan. Ada beberapa
hal yang harus disadari oleh seorang kader :
Pertama : Tidak lagi menuduh jama’ah dalam kondisi lemah dan syubhat
dalam kebijakan-kebijakannya
Syekh Muhammad Ahmad Ar-Rasyid dalam kitabnya “ Al-Awa’iq” berpesan :“
Perilaku pertama menyangkut kita aktifis gerakan islam, intinya adalah
: agar kita tidak berlebihan dalam menuduh diri kita dengan berbagai
macam kelemahan. Kita harus yakin bahwa kita berada dalam kebaikan
yang sangat banyak atas karunia dan anugerah Allah SWT. Memang,
kebaikan tidak lah sempurna, dan kita tidak bisa menyamai kaum salaf,
akan tetapi kita adalah orang-orang yg membawa pelita keimanan.
Apabila kita bersalah, maka keimanan itu akan memperbaiki kesalahan
kita .
Ini bukanlah ghurur (terpedaya), juga bukan memamerkan sedikit amal yg
kita persembahkan untuk islam. Akan tetapi metode tarbiyah yang mesti
wajib kita terapkan, agar kita tidak terperosok pada kesalahan
sebagian ulama zaman pertengahan, ketika mereka terlalu banyak
menyebut rasa takut dan terlalu banyak menyebutkan bisikan-bisikan
hati dan hal-hal yang bisa membatalkan amal, sehingga manusia diliputi
oleh keputus asaan yang berlebihan, karena mereka tidak membuka
satupun pintu harapan yang akan mengimbangi rasa takut tersebut “
Hari ini selayaknya setiap aktifis dakwah menghentikan asumsi-asumsi
negatif terhadap sebuah jamaah dakwah, tidak lagi menuduh jamaah telah
keluar dari asholah, atau kebijakan-kebijakan qiyadah yang dipenuhi
syubhat. Sikap-sikap itu hanya akan menghambat kerja-kerja dalam
dakwah. Kita sudah mempercayakan orang-orang terbaik untuk memutuskan
kebijakan dalam dakwah ini. Mereka pun telah berijtihad secara jama’I
dalam menghasilkan keputusan-keputusan da’awi dan siyasi. Karenanya
tidak layak setiap kader masih harus berfikir secara infirodi dalam
menyambut setiap kebijakan dakwah dan jamaah. Karakteristik keputusan
dalam wilayah ijtihad memang selalu menghasilkan polemik, tapi kita
tidak sedang dalam posisi yang layak berpolemik dalam masalah ini.
Hendaknya kita memahami sebuah kalimat hikmah :
" ليس العاقل هو الذي يعرف الخير والشر , ولكن هو الذي يعرف الخير بين الشرين "
“ Seorang yang pandai (berakal) bukanlah mereka yang mengetahui antara
baik dan buruk, tapi yang mengetahui yang paling baik di antara dua
keburukan “
Kedua : Memahami hakikat istiqomah dalam amal serta menjauhi berdiam
diri (menganggur) dalam amal
Setiap aktifis dakwah hendaknya memahami bahwa salah satu ajaran Islam
adalah istiqomah. Tidak ada jeda dalam melakukan amal kebaikan, karena
waktu terus berjalan. Karenanya cukup jelas pesan dalam surat
Al-Insyiroh : Faidza faroghta fanshob !. Jika kita lihat lebih dalam
lagi, betapa syariat Islam menginginkan kondisi istiqomah dalam setiap
amalan, nyaris tidak ada celah untuk berhenti dalam beramal –kecuali
oleh hal-hal yg ditentukan syar’i. Kita bisa membaca karakteristik
istiqomah melalui dalil tentang amal-amalan berikut ini, misalnya :
* Anjuran untuk berjihad dalam berbagai kondisi. (QS At-Taubah : 41)
* Anjuran untuk berinfak dan sedekah dalam berbagai kondisi. (QS Ali
Imron : 134 )
* Anjuran untuk berinfak di setiap waktu. (QS Al Baqoroh : 274)
* Anjuran untuk berdzikir setiap saat sepanjang hari. (QS Thahaa 131 )
* Anjuran untuk berdzikr dalam berbagai keadaan. (QS Ali Imron 191 )
* Anjuran untuk tak kenal lelah dalam berdakwah. (QS Nuh 5 )
Begitupula kita dapati makna istiqomah dan berkelanjutan dalam kisah
perang ahzab, betapa kemenangan yang diraih oleh kaum muslimin tidak
serta merta mengantarkan mereka pada kenyamanan dan jeda istirahat
yang panjang. Tetapi yang ada bahkan perintah untuk segera melanjutkan
jihad menuju perkampungan bani quraidhah.
Dengan demikian, dakwah sebagai bagian tak terpisahkan dalam amal
islami juga membutuhkan keistiqomahan dan berkelanjutan. Sebelum serta
sesudah pemilu, bahkan ada atau tanpa pemilu sekalipun. Terlalu lama
mengambil jeda atau berdiam diri dalam dakwah, hanya akan menyisakan
potensi saling menyerang dan mengganggu sesama kader dakwah. Kita
selami kata-kata hikmah di bawah ini :
العَسْكَرُ الذِي تَسُودُهُ البِطَالَةُ يُجِيدُ المُشَاغَبَاتِ
“ Pasukan yang tidak punya tugas, sangat potensial membuat kegaduhan”
Ketiga : Memahamai hakikat pembebanan individu untuk memunculkan
semangat berlomba dalam kebaikan
Setiap aktifis dakwah hendaknya memahami bahwa setiap amal yang ia
kerjakan tidak lain dan tidak bukan akan kembali pada dirinya sendiri.
Bahwasanya setiap amal yang dikerjakan dengan adalah peluang untuk
mendekatkan diri disisi Allah SWT. Bisa saja sebuah acara sukses
dengan baik dan lancar, tapi penilaian amal disisi Allah SWT tidak
bisa digeneralisir begitu saja, setiap orang akan mendapatkan pahala
sesuai dengan kontribusinya. Karenanya, hendaknya setiap kader
memahami bahwa ia harus terus beramal, karena pembebanan ini sifatnya
individual, nilainya di akhirat adalah nilai dirinya sendiri, meskipun
beramal di dunia secara jama’i. Kita renungkan beberapa dalil berikut
ini :
فَقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ
“ Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani
melainkan dengan kewajiban kamu sendiri “ (QS An-Nisa 84)
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“ Barang siapa yang lambat dalam amalnya, maka tidak akan membuatnya
cepat nasab (afiliasinya) “ (HR Muslim)
Setelah setiap kader memahami tentang sifat pembebanan dan penilaian
yang bersifat individu, maka diharapkan akan memunculkan semangat
berlomba dalam kebaikan, sehingga akan menghasilkan amal-amal yang
terbaik. Ruuh at-tanafus atau spirit untuk berlomba dalam kebaikan
telah banyak diisyaratkan dalam Al-Quranul Karim, diantaranya : ( QS
Al-Maidah 48, QS Al-Baqoroh 148, QS Al-Muthoffifin 26, QS Ali Imron
133)
Keempat : Cermat dan senantiasa berbeda dalam menjalankan tugas
Ada banyak kesalahan yang terjadi karena seseorang meremehkan sebuah
amal, menggampangkan sebuah taklimat, menyederhanakan sebuah
mas’uliyah, dan akhirnya berakhir dengan kegagalan atau cacat dalam
melaksakan kerja-kerja dakwah. Setelah kader mempunyai semangat untuk
berlomba dalam kebaikan, semestinya hal itu tidak perlu terjadi lagi.
Yang ada setelah ini adalah lebih cermat (diqqoh) dalam menjalankan
setiap tugas, tabayun jika menemukan kejanggalan, dan berusaha untuk
berbeda dan berprestasi dalam mengerjakan tugas-tugas dakwah.
Sesungguhnya jiwa yang besar senantiasa akan enggan untuk mengerjakan
sesuatu dengan kualitas yang standar dan biasa-biasa saja. Kita
renungkan hadits berikut ini :
قَالَ رَسُولُ اللهِ: (إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُحِبُّ مَعَالِيَ
الأُمُورِ، وَأَشْرَافَهَا، وَيَكْرهُ سَفْسَافَهَا)
Rasulullah SAW bersabda : “ Sesungguhnya Allah SWT mencintai
urusan-urusan yang berkualitas lagi mulia, serta membenci yang rendah
(remeh-temeh) “ ( HR Baihaqi dan Thobroni, dishahihkan oleh Albani)
Dalam siroh sahabat kita juga bisa mengambil contoh dari sahabat
sekelas Abi Bakar as-Shiddiq, beliau senantiasa menghadirkan amal-amal
terbaik, prestasi yang berbeda dengan shahabat lainnya. Bahkan seorang
umar bin Khotob beberapa kali berusaha untuk berlomba dengannya, namun
akhirnya mengakui kekalahannya seraya berkata pd Abu Bakar : “ Aku
tidak akan mampu mengunggulimu selamanya “
Kelima : Menjauhi ketaatan atas dasar kecenderungan nafsu semata
Setiap aktifis dakwah hendaknya kembali merenung, apakah ketaatannya
selama ini benar-benar atas dasar ketsiqohan dan keyakinan akan
kebenaran sebuah manhaj, ataukah hanya memilah-milah taklimat yang
bersesuaian dengan kecenderungannya dan hawa nafsunya saja ?
Sesungguhnya ketaatan berdasarkan hawa nafsu semata adalah rapuh dan
berbahaya untuk kelangsungan dakwah di masa depan. Karena akan lebih
banyak lagi taklimat dan qoror yang mungkin tidak bersesuaian dengan
keinginan dan hawa nafsu kita. Yang seharusnya terjadi adalah setiap
kader mampu menundukkan hawa nafsunya agar senantiasa bersesuaian
dengan dakwah. Hendaklah kita mengingat sabda Rasulullah SAW :
لا يؤمن احدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به
Rasulullah SAW bersabda : “ Tidak sempurna keimanan salah seorang dari
kalian, hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (risalah
islam) “ (Musnad Firdaus, An-Nawawi memasukannya dalam Arba’in)
Abdul Wahhab Azaam berkata : “ Mereka akan segera taat pada hal-hal
yang mereka sukai, namun mereka akan bermalas-malasan pada hal-hal yg
mereka benci. Apabila dihadapkan pada ujian untuk melakukan suatu hal
yang tidak mereka sukai sekalipun di dalamnya ada kemaslahatan
jama’ah, maka mereka akan berpaling sambil memberi alasan, atau mereka
akan mentaati dengan terpaksa, dan melaksanakannya dengan hati kesal “
Syeikh Muhamaad Ahmad Ar-Rasyid mengingatkan kita : “ Sesungguhnya
keta’atan yang bermuatan hawa nafsu merupakan peninggalan tabi’at bani
israil, yang harus dijauhi oleh seorang mukmin. Bani Israil pernah
meminta kewajiban perang di jalan Allah , tetapi kemudian berpaling
ketika perang sudah diwajibkan “. Lihat QS An-Nisa ayat 76.
Wallahu a'lam. Semoga bermanfaat dan salam optimis
No comments:
Post a Comment